BREAKING NEWS

Sejarah Kabupaten Serang: Jejak Kesultanan Banten Hingga Era Modern

Temukan kisah panjang Sejarah Kabupaten Serang — dari masa Kesultanan Banten, perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa, hingga peran pentingnya di era modern Banten.

logo kabupaten serang
Llogo Kabupaten Serang

Kabupaten Serang bukan sekadar wilayah administratif di barat Pulau Jawa — ia adalah nadi sejarah Banten, tempat kisah kejayaan masa lampau berpadu dengan denyut kehidupan modern hari ini. Terletak di ujung barat laut Pulau Jawa, Kabupaten Serang menjadi gerbang antara sejarah Nusantara dan kemajuan masa kini, di mana setiap sudutnya menyimpan jejak panjang perjuangan, kebudayaan, dan peradaban.

Jika kamu melintasi kawasan Banten Lama atau menjelajah ke arah Ciruas, sulit rasanya tidak merasakan aura sejarah yang masih hidup di tanah ini. Dari masjid tua peninggalan kesultanan, keraton megah yang kini tinggal reruntuhan, hingga tradisi masyarakat yang tetap lestari, semuanya menjadi bukti nyata bahwa Sejarah Kabupaten Serang bukan sekadar catatan di buku, melainkan kisah yang masih bernafas hingga sekarang.

Menariknya, perjalanan Serang menuju seperti yang kita kenal hari ini bukanlah hal singkat. Wilayah ini pernah menjadi pusat kekuasaan besar, tempat bertemunya agama, perdagangan, dan kekuatan politik. Dari pengaruh Kerajaan Sunda, masuknya Islam oleh Sunan Gunung Jati, hingga berdirinya Kesultanan Banten yang terkenal ke seluruh Asia Tenggara, Serang memainkan peran penting dalam membentuk wajah Nusantara.

Kini, Kabupaten Serang tidak hanya dikenal karena sejarah panjangnya, tetapi juga karena posisinya yang strategis di Provinsi Banten — menghubungkan kawasan industri Cilegon, kota pendidikan Serang, hingga jalur pariwisata Anyer dan Cinangka yang legendaris. Tapi di balik geliat modernisasi itu, kisah asal-usulnya tetap menjadi fondasi yang membuat masyarakat Serang bangga: tanah para sultan dan pejuang yang tak pernah kehilangan jati dirinya.

Baca juga: Panduan Lengkap Wisata Religi di Banten Lama: Ziarah Makam Wali & Situs Bersejarah


Awal Mula Serang: Dari Kerajaan Sunda ke Kesultanan Banten

Sebelum dikenal sebagai Kabupaten Serang seperti sekarang, wilayah ini pernah menjadi bagian penting dari Kerajaan Sunda, salah satu kerajaan besar di Tanah Jawa bagian barat. Pada masa itu, sekitar abad ke-15, daerah yang kini menjadi Serang dikenal sebagai Banten Girang, sebuah kawasan strategis yang makmur berkat letaknya dekat pesisir dan jalur perdagangan laut.

Menurut catatan sejarah, penguasa wilayah ini adalah Prabu Pucuk Umun, putra dari Prabu Siliwangi—raja legendaris dari Pajajaran. Di bawah kekuasaan Sunda, Banten menjadi wilayah agraris sekaligus pelabuhan yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai daerah, termasuk Sumatra, Kalimantan, hingga Tiongkok. Namun, perubahan besar mulai terjadi ketika pengaruh Islam mulai masuk ke wilayah ini.

Datangnya Islam dan Lahirnya Kesultanan Banten

Sekitar tahun 1524–1525 M, seorang tokoh penyebar Islam yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) datang ke Banten. Beliau tidak hanya berdakwah, tetapi juga berperan sebagai pemimpin yang membawa perubahan sosial dan politik. Bersama pasukannya, Sunan Gunung Jati berhasil menaklukkan pemerintahan Prabu Pucuk Umun, dan dari situlah dimulai babak baru sejarah Banten — berdirinya Kesultanan Islam Banten.

Untuk melanjutkan perjuangan dakwah dan pemerintahan, Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat putranya, Sultan Maulana Hasanuddin, sebagai Sultan Banten pertama. Di bawah kepemimpinannya, Banten berkembang pesat menjadi kerajaan Islam yang disegani. Sultan Hasanuddin memindahkan pusat pemerintahan dari Banten Girang ke Banten Lama (Surosowan), sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Serang sekarang. Keputusan ini menjadikan Serang sebagai jantung pemerintahan dan perdagangan kala itu.

Serang Sebagai Pusat Dakwah dan Perdagangan

Pada masa Sultan Hasanuddin, wilayah Banten bukan hanya pusat kekuasaan politik, tetapi juga menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa bagian barat. Dari Serang inilah ajaran Islam disebarkan ke daerah-daerah sekitar, termasuk ke Pandeglang, Lebak, dan bahkan hingga ke luar Pulau Jawa.

Selain itu, posisi Banten yang strategis di jalur perdagangan internasional menjadikannya pelabuhan penting bagi pedagang dari Gujarat, Arab, Tiongkok, dan Eropa. Komoditas utama seperti lada, pala, dan hasil bumi lainnya diperdagangkan melalui pelabuhan Banten, menjadikannya salah satu pusat ekonomi maritim terbesar di Nusantara pada abad ke-16.

Bayangkan suasana Banten saat itu — kapal-kapal asing bersandar di pelabuhan, para pedagang sibuk bertransaksi, dan dari balik tembok kota Surosowan, para ulama mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat. Itulah masa ketika Serang menjadi pusat peradaban Islam dan perdagangan internasional.

Simbol Kekuatan dan Identitas Banten

Perpaduan antara politik, perdagangan, dan keagamaan inilah yang membentuk karakter masyarakat Banten — tegas, religius, dan berani melawan ketidakadilan. Nilai-nilai ini masih bisa kita rasakan hingga sekarang di Kabupaten Serang. Tak heran, banyak sejarawan menyebut bahwa Sejarah Kabupaten Serang adalah cerminan perjalanan panjang Banten sebagai wilayah yang tangguh dan berdaulat.

Dari sinilah cikal bakal identitas Serang terbentuk: tanah para sultan dan ulama, tempat di mana kekuasaan dan keimanan berjalan beriringan.

Masa Kejayaan: Sultan Ageng Tirtayasa dan Perlawanan terhadap VOC

Setelah masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, Kesultanan Banten terus berkembang menjadi salah satu kekuatan besar di Nusantara. Namun puncak kejayaan sejati terjadi pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertakhta 1651–1683 M), sosok yang dikenal bukan hanya sebagai pemimpin bijak, tapi juga simbol keberanian rakyat Banten dalam menghadapi kolonialisme Belanda (VOC).

Di masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Banten meluas hingga Lampung dan sebagian Sumatra Selatan. Serang — yang menjadi jantung pemerintahan — berkembang pesat. Sultan Ageng membangun irigasi, benteng, jalan, dan pusat perdagangan yang menjadikan Banten makmur dan mandiri. Pelabuhan Banten Lama menjadi salah satu pelabuhan internasional terbesar di Asia Tenggara, dikunjungi pedagang dari Arab, Persia, Cina, India, hingga Eropa.

Namun kemakmuran itu membuat Belanda (VOC) merasa terancam. Mereka ingin menguasai perdagangan lada yang menjadi sumber utama kekayaan Banten. Tapi Sultan Ageng bukan tipe raja yang mudah tunduk. Ia menolak monopoli dagang VOC dan memilih mempertahankan kedaulatan ekonomi Banten — sebuah keputusan berani yang kelak memicu salah satu konflik terbesar di masa itu.

Sultan Ageng vs VOC: Perlawanan yang Menggetarkan Nusantara

Ketegangan antara Kesultanan Banten dan VOC memuncak ketika VOC mencoba memecah belah keluarga kerajaan. Mereka memanfaatkan hubungan tegang antara Sultan Ageng dan putranya, Pangeran Haji (kelak dikenal sebagai Sultan Haji), yang memiliki pandangan lebih lunak terhadap Belanda.

VOC berhasil menghasut Sultan Haji untuk melawan ayahnya sendiri. Maka terjadilah perang saudara di Banten — konflik yang bukan hanya soal kekuasaan, tapi juga soal harga diri dan prinsip kemandirian bangsa. Dalam perang ini, Serang menjadi medan perjuangan di mana rakyat dan pasukan Sultan Ageng bertempur mempertahankan tanah air dari campur tangan asing.

Walau akhirnya Sultan Ageng tertangkap dan wafat dalam penjara Batavia, semangat perlawanan beliau tidak pernah padam. Justru dari perjuangan itu lahir semangat baru bagi rakyat Banten: jiwa pantang tunduk terhadap penjajahan. Nilai keberanian dan keadilan yang ia tanamkan masih mengakar kuat di masyarakat Serang hingga kini.

Warisan Sultan Ageng Tirtayasa bagi Kabupaten Serang

Nama Sultan Ageng Tirtayasa kini abadi dalam banyak hal: menjadi nama universitas, jalan, hingga simbol perjuangan rakyat Banten. Di Kabupaten Serang sendiri, peninggalannya masih bisa ditemukan — mulai dari sisa benteng pertahanan di Tirtayasa, saluran irigasi kuno, hingga masjid dan makam-makam tua yang menjadi saksi bisu kejayaannya.

Lebih dari sekadar tokoh sejarah, Sultan Ageng Tirtayasa adalah ikon keteguhan dan kemandirian yang merepresentasikan karakter masyarakat Serang: religius, berani, dan setia pada tanah leluhur.

Dalam konteks modern, semangat Tirtayasa seolah hidup kembali di wajah masyarakat Serang yang gigih membangun daerahnya tanpa melupakan akar sejarah. Karena bagi orang Serang, kemajuan bukan berarti melupakan masa lalu — melainkan melanjutkan perjuangan dengan cara yang baru.


Masa Penjajahan dan Pembentukan Kabupaten Serang Modern

Setelah jatuhnya Kesultanan Banten ke tangan Belanda pada akhir abad ke-17, wilayah Serang memasuki babak baru yang penuh tantangan. Kekuasaan VOC yang kemudian digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda membawa perubahan besar dalam sistem politik, ekonomi, dan kehidupan sosial masyarakat Banten.

Belanda membubarkan sistem pemerintahan kesultanan dan menggantinya dengan struktur kolonial. Wilayah Banten — termasuk Serang — dipecah menjadi beberapa distrik dan afdeling (kawedanan). Sejak saat itu, Serang menjadi pusat pemerintahan kolonial di wilayah barat Jawa, menggantikan posisi Banten Lama yang mulai ditinggalkan. Gedung-gedung pemerintahan Belanda, jalan raya, dan perkebunan dibangun untuk kepentingan ekonomi kolonial, bukan untuk kemakmuran rakyat.

Perlawanan Rakyat Serang terhadap Penjajahan

Meski hidup di bawah tekanan kolonial, semangat perlawanan masyarakat Banten tak pernah padam. Di Serang dan sekitarnya, muncul berbagai bentuk resistensi — mulai dari gerakan keagamaan hingga pemberontakan bersenjata. Salah satu yang paling terkenal adalah Pemberontakan Petani Banten tahun 1888, yang dipicu oleh penindasan, pajak berat, dan ketidakadilan pemerintah kolonial.

Gerakan ini melibatkan banyak ulama dan tokoh masyarakat dari wilayah Serang. Mereka menganggap perjuangan melawan penjajahan bukan sekadar politik, tapi juga jihad melawan kezaliman. Walaupun pemberontakan itu berhasil dipadamkan dengan kejam, semangatnya menginspirasi generasi selanjutnya untuk terus berjuang menuju kemerdekaan.

Masa Pendudukan Jepang dan Awal Kemerdekaan

Tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Masa pendudukan Jepang di Serang berlangsung singkat tapi keras. Rakyat dipaksa bekerja untuk kepentingan perang, dan banyak sumber daya dieksploitasi. Namun di balik penderitaan itu, rakyat Serang mulai menyadari pentingnya persatuan nasional.

Ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, masyarakat Serang termasuk yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di wilayah Banten. Para pemuda membentuk laskar-laskar perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda kembali berkuasa melalui Agresi Militer.

Lahirnya Kabupaten Serang di Era Republik

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada tahun 1949, pemerintahan mulai menata ulang wilayah. Berdasarkan kebijakan administratif baru, Kabupaten Serang resmi dibentuk sebagai bagian dari Provinsi Jawa Barat (sebelum Banten menjadi provinsi sendiri). Kota Serang saat itu ditetapkan sebagai pusat pemerintahan kabupaten, sekaligus simbol kebangkitan daerah setelah masa penjajahan panjang.

Pada masa awal republik, pembangunan memang berjalan lambat. Namun berkat semangat gotong royong dan kemandirian masyarakatnya, Kabupaten Serang mulai bangkit. Pertanian, pendidikan, dan perdagangan menjadi sektor utama yang menopang kehidupan rakyat.

Hingga akhirnya, setelah Provinsi Banten berdiri pada tahun 2000, posisi Kabupaten Serang semakin penting. Ia menjadi wilayah penyangga ibu kota provinsi (Kota Serang), sekaligus jantung sejarah yang menghubungkan masa lalu dan masa depan Banten.

Kabupaten Serang di Era Banten Modern

Memasuki abad ke-21, Kabupaten Serang terus berkembang menjadi salah satu wilayah paling dinamis di Provinsi Banten. Setelah pemekaran Kota Serang pada tahun 2007, wilayah kabupaten ini mengalami transformasi besar, baik dari sisi pemerintahan, ekonomi, maupun sosial budaya.

Meskipun sebagian pusat aktivitas kini beralih ke Kota Serang sebagai ibu kota provinsi, Kabupaten Serang tetap memainkan peran penting sebagai wilayah penyangga utama yang menghubungkan sektor industri, pertanian, dan pariwisata. Dari pesisir utara hingga perbukitan di selatan, Serang menunjukkan wajah modern tanpa kehilangan identitas lamanya sebagai tanah para sultan dan pejuang.

Pertumbuhan Ekonomi dan Industri yang Pesat

Secara geografis, Kabupaten Serang memiliki posisi strategis di jalur utama antara Jakarta–Merak. Hal ini membuatnya menjadi kawasan yang ideal bagi perkembangan industri. Di bagian barat, terutama di sekitar Kragilan, Cikande, dan Kopo, tumbuh pesat kawasan industri yang menampung ribuan tenaga kerja lokal.

Pemerintah daerah juga mendorong investasi di bidang pertanian modern, perikanan, dan UMKM berbasis lokal. Produk-produk khas seperti emping melinjo, batik Banten, dan hasil kerajinan tangan mulai banyak dikenal di pasar nasional. Di sisi lain, sektor pariwisata terus digarap dengan mengangkat potensi sejarah dan alam — seperti Banten Lama, Pantai Anyer, Pantai Carita, dan wisata religi di sekitar Tirtayasa.

Pertumbuhan ekonomi ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tapi juga membentuk wajah baru Kabupaten Serang: sebuah daerah yang mampu memadukan tradisi dengan inovasi.

Budaya dan Identitas yang Tetap Terjaga

Di tengah modernisasi, masyarakat Serang masih memegang kuat nilai-nilai budaya dan keagamaan yang diwariskan leluhur. Tradisi seperti Debus, Pencak Silat Banten, Upacara Seren Taun, dan pengajian-pengajian kampung tetap hidup di berbagai kecamatan. Ini menjadi bukti bahwa kemajuan tidak menghapus jati diri — justru memperkaya karakter daerah.

Peran ulama dan pesantren juga masih sangat besar di Kabupaten Serang. Banyak pesantren tua di wilayah ini yang berakar sejak zaman kesultanan masih berdiri, dan kini menjadi pusat pendidikan moral serta sosial bagi generasi muda.

Di sisi lain, keberagaman masyarakatnya — dari nelayan di pesisir hingga petani di pedalaman — menciptakan keseimbangan sosial yang khas. Masyarakat Serang dikenal ramah, religius, dan berjiwa gotong royong, nilai-nilai yang tak pernah lekang meski zaman berubah.

Menuju Serang yang Lebih Maju dan Berdaya Saing

Sebagai bagian dari Provinsi Banten, Kabupaten Serang kini berfokus pada pembangunan berkelanjutan. Infrastruktur terus dibenahi, akses pendidikan diperluas, dan pelayanan publik ditingkatkan. Pemerintah daerah juga gencar mengembangkan potensi wisata berbasis budaya dan sejarah, agar generasi muda tak melupakan akar daerahnya sendiri.

Di tengah pesatnya arus globalisasi, Serang terus menjaga keseimbangannya: menjadi daerah industri yang maju, tapi juga pusat warisan sejarah dan spiritual Banten. Itulah yang membuat Kabupaten Serang tetap istimewa — sebuah wilayah yang bukan hanya bergerak maju, tapi juga tahu dari mana ia berasal.


Penutup: Menjaga Warisan, Melangkah ke Masa Depan

Dari masa Kerajaan Sunda, kejayaan Kesultanan Banten, perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, hingga lahirnya Kabupaten Serang modern, sejarah panjang ini bukan sekadar kisah masa lalu — tapi cermin identitas dan kebanggaan masyarakat Banten hari ini.

Setiap batu tua di Banten Lama, setiap tradisi yang masih dijaga di pelosok kampung, hingga semangat kerja keras masyarakatnya, semuanya adalah bukti bahwa Sejarah Kabupaten Serang bukan hanya milik para raja dan pejuang, tapi milik setiap warga yang mencintai tanah kelahirannya.

Kini, di tengah modernisasi dan perkembangan zaman, tugas generasi muda Serang bukan lagi mengangkat senjata, melainkan melestarikan nilai-nilai luhur: keteguhan, keberanian, dan keikhlasan yang telah diwariskan sejak berabad-abad lalu. Karena tanpa memahami masa lalu, sulit rasanya melangkah mantap ke masa depan.

Kabupaten Serang hari ini adalah perpaduan antara warisan dan kemajuan — tempat di mana sejarah tidak terkubur, tetapi menjadi pondasi untuk terus berkembang. Maka, setiap kali kita berjalan di tanah Serang, ingatlah: di bawah langkah kita ada jejak para sultan, ulama, dan rakyat yang pernah berjuang menjaga kehormatan Banten.

Serang bukan hanya sebuah kabupaten. Ia adalah cerita panjang tentang keteguhan hati, tentang bagaimana sebuah daerah kecil di ujung barat Jawa mampu menulis sejarah besar yang menggema hingga ke seluruh Nusantara.